(Nggak) Kapok gowes ke Tulungagung

ke-tulungagung

Melintasi selatan

Setelah sekian waktu kami memarkir manis sepeda tandem di rumah, akhirnya kami memiliki kesempatan menungganginya lagi. Ya, kebetulan di bulan Oktober 2013 ada hari libur cukup panjang, yaitu tanggal 12 – 15. Kami sudah berangan-angan ingin melengkapi trayek tiga penjuru mata angin menjadi empat. Kali ini kami ingin mencicipi lintasan dari Sidoarjo menuju ke selatan tapi kami tidak paham kota mana yang akan menjadi tujuan. Tiba-tiba suatu saat, salah seorang teman istri saya yang berasal dari Tulungagung menggoda kami dan mengatakan bahwa bersepeda ke sana menggunakan sepeda tandem sangatlah memungkinkan karena kontur lintasan yang landai, berbeda dengan pikiran saya selama ini yang mengira jalan menanjak mendaki bukit sebagaimana terjadi bila kita menuju Jember, Pacitan, atau pantai pantai di Gunung Kidul. Akhirnya, setelah mantap dengan kota tujuan itu, mulailah kami menyusun rencana. Terutama, kami sangat ingin menikmati atraksi wisata disana yang konon kabarnya sangat beragam dan masih belum banyak terpapar arus turisme. Tentu saja kami tidak akan mancal sepeda untuk mencapai lokasi wisata. Maka, kami mencari melalui media internet, sekiranya ada seseorang yang mau diajak berkenalan dan bersedia menjadi juru pandu kami.

Paciwistu

Di Tulungagung, ada sekompok anak muda yang rupanya peduli dengan potensi wisata di kabupaten tersebut, mereka menyebut paguyuban itu sebagai Paciwistu. Setelah mengungkapkan keinginan kami lewat halaman Facebook mereka, seseorang bersedia menjadi guide kami bahkan dia juga berbaik hati menyediakan mobilnya untuk mengantar kami menjelajah sedikit wilayah Tulungagung.

Wuuuzzz dihadang angin selatan

selokan-wonorejoSabtu dini hari 12 Oktober jam 04.30 kami sudah meluncur meninggalkan Sidoarjo dengan menumpang kendaraan pick up menuju Jombang. Hari masihlah pagi dan pukul 06.30 dari Ringin Contong, Jombang kami bersiap mengayuh sepeda menuju Tulungagung. Dengan cara ini kami bisa memotong jarak tempuh dari 140 km (Sidoarjo – Tulungagung) menjadi hanya 70 km-an sehingga kami bisa menuntaskannya kurang dari satu hari agar memiliki cukup waktu untuk istirahat serta bersenang-senang.

Namun harapan tidaklah selalu seirama dengan kenyataan. Baru saja kami menggowes dan beranjak sejauh kurang lebih 5 km, kami sudah dihadang oleh kemacetan luar biasa panjang di jalan raya utama yang menghubungkan kota Jombang dengan Kertosono, Nganjuk (ini adalah jalan utama lintas selatan yang menghubungkan Surabaya dengan Yogyakarta). Kabarnya, sebuah truk besar mengalami patah As dan teronggok di tengah jalan semenjak subuh. Beberapa karyawan restoran yang melihat kami sedang menuntun tandem segera berhamburan keluar mendekati kemudian menyarankan kami untuk berbalik arah dan menggunakan rute alternatif menuju Pare, Kediri lalu tembus Tulungagung ketimbang tetap berada di jalur ini (Jombang – Kertosono – Kediri – Tulungagung). Maka kami segera berbalik arah dan bergegas mengikuti saran tadi. Untunglah kami belum terlalu jauh sehingga segera menemukan jalan yang benar menuju Kediri melewati persawahan dan kebun jagung. Setelah beberapa lama mengayuh pedal menembus jalan lengang dan lapang yang dikelilingi kebun jagung kami mulai kepayahan dan menyadari bahwa ternyata kami menggowes MENANTANG ANGIN! Tapi ini bukan angin sembarang angin, inilah yang disebut angin pancaroba yang berhembus dari segara selatan. Tentu saja bisa dibayangkan menggenjot sepeda tandem sambil menarik gerobak berisi Jello bukanlah suatu usaha yang ringan. Menurut orang-orang, kota Nganjuk yang terletak tidak jauh dari Jombang dan Kediri mendapat sebutan kota angin karena sedemikian kencangnya angin bertiup di musim pancaroba. Kami mulai benar-benar kelelahan terutama saat kami tiba di kota Kediri. Pantat rasanya malas diajak beranjak dari bangku restoran bernama Waroeng Semar (recommended) tempat kami menikmati makan siang. Untunglah menu restoran yang enak, minuman es buah yang dingin segar ditambah tingkah pemiliknya yang ramah bisa sedikit memompa semangat kami. Tapi saya dan istri sudah kompak sepakat memutuskan untuk berdamai saja dengan kehendak alam dan segera menaikkan tunggangan kami ke mobil pick up agar segera sampai ke Tulungagung. Apalagi Jello putri kami mulai gelisah dan hari mulai beranjak senja. Tapi oh my God, alangkah malangnya kami, setelah sekian jam berputar-putar keliling kota Kediri, kami tidak juga menemukan satu buahpun kendaraan yang bersedia disewa, sungguh mengherankan sekaligus menyebalkan. Hari sudah hampir pukul 5 sore, pantat sudah demikian panas dan selangkangan kram, kami nyaris putus asa sebelum akhirnya berhasil membujuk seseorang untuk mau menyediakan kendaraannya (tentu saja kami memberikan uang jasa yang tidak biasa). Tanpa menunggu lagi, segera kami kemasi sepeda dan meluncur sejauh 30 km menuju Hotel Narita (coordinate: 8°3’38″S 111°54’3″E) di jantung kota Tulungagung. Saat ngobrol-ngobrol dengan sang sopir, kami diberitahu bahwa memang penyewaan mobil pick up bukanlah hal yang cukup lumrah di kota Kediri, berbeda hal dengan kota Sidoarjo. Tapi ah syukurlah, kami akhirnya sampai di hotel yang sangat nyaman dan segera mandi untuk kemudian menikmati makan malam.

Gerbang kota Kediri

Gapura selamat datang di kota Kediri dengan latar belakang bangunan pabrik rokok Gudang Garam yang legendaris itu.

Watu Budheg

Watu Budheg yang sedang coba dihijaukan kembali

Alun-alun Tulungagung

Berpose di taman alun-alun kota Tulungagung sebelum pulang

Bendung Segawe

Bendung/dam Segawe

Waduk Wonorejo

Waduk Wonorejo

Candi Sanggrahan

Candi Sanggrahan yang diam membisu tak jauh dari Watu Budheg

IMG_5893 IMG_5953 Setelah sangat terlelap dalam tidur malam, kami segera bangun pagi keesokan hari dalam keadaan segar dan bersiap untuk tamasya keliling Tulungagung. Tepat seperti kesepakatan, kami dijemput Mas Jabbar dari Paciwistu yang akan menjadi tour guide kami. Maka, akhirnya terpenuhilah angan kami melihat kemolekan Tulungagung walaupun hanya satu hari saja.

Pulang

narita14 Oktober pagi pukul 07.30, kami  sudah meninggalkan kota Tulungagung mengayuh santai menuju Jombang. Kali ini perjalanan terasa sungguh nikmat karena angin berhembus seolah mendorong punggung kami sehingga kami tak perlu menguras tenaga untuk mengayuh. Kami kembali mampir di restoran yang sama di kota Kediri untuk menikmati makan siang dan es blewah yang suegar. Pemilik restoran lagi-lagi menyambut kami dengan sangat ramah, ah senangnya. Sebelum terlalu sore, kami sudah tiba kembali di kota Jombang dan sebagaimana kami berangkat, kali ini kami naikkan lagi sepeda ke mobil pick up untuk membawa kami kembali ke Sidoarjo. Ohh, sungguh pengalaman bikepicnic yang luar biasa, rasanya kapok nggowes ke Tulungagung (tapi kami tidak kapok menikmati atraksi wisata di Tulungagung loh!).

ingin mata bicara

IMG_6072

Brosur pertamaku untuk produk perusahaan

Tempo hari saya diminta oleh pimpinan di tempat saya bekerja saat ini membuat sebuah flyer untuk produk yang menjadi bisnis inti. Kata beliau (katanya), saya punya bakat artistik, maka jadilah saya bekerja dengan hanya memanfaatkan kamera saku (Canon Power Shot A2000 IS) dan sedikit pengetahuan gambar editing menggunakan freeware GIMP 2.0.

Boss saya sih mengatakan bagus! puas!

Image

Image

saat mata (ingin) bicara

Bertiga, bertandem, Natalan ke Yogya

Preparation to YogyaKawan……..bagaimana caramu menikmati keindahan dalam sebuah perjalanan? Membuka jendela kendaraan roda empatmu dan membiarkan angin menerpa wajahmu? Melihat pohon, bukit, sawah, dan sungai atau arsitektur tua dalam hitungan kejapan mata? Lalu berhenti disebuah warung makan untuk menikmati kudapan dan makan siang?

Kami memilih cara yang berbeda walaupun tujuan kota kita mungkin sama. Kami membiarkan angin menerpa dari ujung kepala hingga tumit kami. Kami melihat pohon, bukit, sawah, dan sungai atau arsitektur tua dalam tempo yang jauh lebih lambat sehingga kami bisa menikmati detailnya. Lalu kami dapat berhenti kapan saja selama ada cukup ruang untuk turangga kami, sebuah sepeda tandem dan gerobak kecilnya. Continue reading